Pendahuluan
Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan
tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus
dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap
keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari
cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan
ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih
dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat
yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan
ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru
dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah
sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan
kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk” (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural
adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun
secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam
model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat
bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan
yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah
mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya
masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti
sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini
sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa
Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa,
sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang
berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan
di daerah”.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang
multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep
multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa
Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional
maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2)
Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme
dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.
Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa
Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada
umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah
konsep asing. Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak
oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa
daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah
dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau
kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak
mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi
ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di
negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2
masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan,
yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya
yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai
minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di
Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan
minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir
tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya
perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam
dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan
dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui
berbagai kegiatan affirmative action yang membantu
mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat
mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di
berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha
(lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam
perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit
Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan
orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai
kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana
yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh
Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat
pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan
diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep
multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di
sekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan
berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan
menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu
(Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we are all multiculturalists now’ dia
menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di
Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian
proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun
1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi
yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi
tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah
dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk
dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam
kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme
diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang
relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini
harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah
yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan,
kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya,
domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep
lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).
Pemahaman Tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian
kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya
tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli
dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena
multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana
untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep
kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena
itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang
juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman
adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata
sosial.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam
berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan
manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan
bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam
masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan,
yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan
sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya
mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di
dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya
adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada
corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan
pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian
pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan
seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai
budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa
corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put).
Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen,
ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang
ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya
disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan
manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga,
atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan
sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang
berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia,
tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke
dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab
utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam
mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang
menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang
dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan
mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya
yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan
manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi
juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman
etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan
konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.
Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai
‘Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur
tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman
tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung
dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana
seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya
dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno
1987). Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita
kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika
administrasi dan birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang
lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak
ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan
sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai “Akbar
Tanjung dan Etika Politik” sebagaimana yang telah dikemukakanoleh
Alfian M (2002).
Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat
Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para
ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan
Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam
kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila
kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan
tersebut. Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup
mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang
menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari
32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat
semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak
multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah
diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya
untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam
konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa
diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan
Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting
berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai
cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya
terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep
serta metodologi yang sesuai dengan itu.
Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana
yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa
untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai
dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya
pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural.
Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya
dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan
mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik
gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu
menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga
kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat
respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan
dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian
seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai
kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui
dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan
etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada
angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan
metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif
inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau
gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga
diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang
di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme
yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.
Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian
multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan
oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan
ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu
pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai
bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat,
mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan
keahlian akademik masing-masing. Sehingga secara bersama-sama tetapi
melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya
untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan
secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.
Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi,
atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan
lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas
dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi,
seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat
dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya
yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep
dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai
multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta
proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan
itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di
lapangan.
Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme,
ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi
sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai
multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi
pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Hal yang sama juga
sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat
atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi
pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar,
dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial
yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita
reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan
konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga
menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural
Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak
berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.
Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan
dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir
bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat
dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model
multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara
bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model
maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang
berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada
terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap
berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan
organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia.
Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup
reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam
nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan
penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya
ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada
setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan
berbagai corak dinamikanya.
Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan
pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam
berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya
dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan
membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan
bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam
berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya.
Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan
berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh
para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang
ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan
dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan
pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat
dibatasi atau ditiadakan.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas
R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam
pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.
Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan
pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau
menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah
bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah
diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang
baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam
upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik
berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat
Suparlan 2002).
Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah
multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin
akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai
sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan
sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar