Diberitahukan kepada seluruh siswa/i MA. Manbaul Khair, untuk pembayaran semester genap 2011/2012, ditunggu paling lambat tanggal 2 Juni 2012.
Terima Kasih.
Tertanda,
Panitia Semester Genap
Senin, 14 Mei 2012
Minggu, 13 Mei 2012
Kepribadian Guru
Adalah sangat penting seorang guru memiliki sikap yang dapat
mempribadi sehingga dapat dibedakan ia dengan guru yang lain. Memang,
kepribadian menurut Zakiah Darajat disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar dilihat
secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan atau ucapan
ketika menghadapi suatu persoalan, atau melalui atasannya saja.
Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis.
Sehingga dapat diketahui bahwa setiap tindakan dan tingkah laku seseorang
merupakan cerminan dari kepribadian seseorang, selama hal tersebut dilakukan
dengan penuh kesadaran. Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif
akan meningkatkan citra diri dan kepribadian seseorang. Begitu naik kepribadian
seseorang maka akan naik pula wibawa orang tersebut.
Kepribadian akan turut menetukan apakah para guru dapat
disebut sebagai pendidik yang baik atau sebaliknya, justru menjadi perusak anak
didiknya. Sikap dan citra negative seorang guru dan berbagai penyebabnya
seharusnya dihindari jauh-jauh agar tidak mencemarkan nama baik guru. Kini,
nama baik guru sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terperosok
jatuh. Para guru harus mencari jalan keluar atau solusi bagaimana cara
meningkatnya kembali sehingga guru menjadi semakin wibawa, dan terasa sangat
dibutuhkan anak didik dan masyarakat luas. Jangan sebaliknya.
Guru sebagai teladan bagi murid-muridnya harus memiliki
sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam
seluruh segi kehidupannya. Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan
melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan
kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus
mengimplementasikan nilai-nilai tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran
agama, misalnya jujur dalam perbuatan dan perkataan, tidak munafik. Sekali saja
guru didapati berbohong, apalagi langsung kepada muridnya, niscaya hal tersebut
akan menghancurkan nama baik dan kewibawaan sang guru, yang pada gilirannya
akan berakibat fatal dalam melanjutkan tugas proses belajar mengajar.
Guru yang demikian niscaya akan selalu memberikan pengarahan
kepada anak didiknya untuk berjiwa baik juga. Hampir sulit ditemukan munculnya
guru yang memiliki keinginan buruk terhadap muridnya. Dalam menggerakkan murid,
guru juga dianggap sebagai partner yang siap melayani, membimbing dan
mengarahkan murid, bukan sebaliknya justru menjerumuskannya. Djamarah dalam
bukunya “ Guru dan Anak didik Dalam Interaksi Edukatif” menggambarkan bahwa:
Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu,
pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, makhluk serba biasa, atau dengan
julukan yang lain seperti artis, kawan, warga Negara yang baik, pembangun
manusia, pioneer, terpercaya, dan sebagainya”.
Lebih lanjut Djamarah mengisahkan bahwa guru memiliki
atribut yang lengkap dengan kebaikan, ia adalah uswatun hasanah walau tidak
sesempurna Rasul. Betapa hebat profesi guru, dan tidak dapat ditemukan dalam
berbagai profesi lainnya. Karenanya berbagai bentuk pengabdian ini hendaknya
dilanjutkan dengan penuh keikhlasan, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa
dan watak anak didik, bukan sekedar untuk mencari uang.
Guru yang professional adalah guru yang siap untuk
memberikan bimbingan nurani dan akhlak yang tinggi kepada muridnya. Karena
pendidikan dana bimbingan yang diberikan bersumber dari ketulusan hati, maka
guru benar-benar siap sebagai spiritual fatner bagi muridnya. Guru yang ideal sangat
meresa gembira bersama dengan muridnya, ia selalu berinteraksi kepada muridnya,
ia merasa happy dapat memberikan obat bagi muridnya yang sedang bersedih hati,
murung, berkelahi, malas belajar. Guru professional akan selalu memikirkan
bagaimana memacu perkembangan pribadi anak didiknya agar tidak mengalami
kendala yang biasa mengganggu.
Kemuliaan hati seorang guru diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari. Guru secara nyata dapat berbagi dengan anak didiknya. Guru tidak
akan merasa lelah dan tidak mungkin mengembangkan sifat iri hati, munafik, suka
menggunjing, menyuap, malas, marah-marah dan berlaku kasar terhadap orang lain,
apalagi terhadap anak didiknya.
Guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik dapat
saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam
mengembangkan diri murid dalam mencapai cita-citanya. Disinilah kemanfaatan
guru bagi orang lain atau murid benar-benar dituntut, seperti hadits Nabi: ”Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas”, artinya adalah sebaik-baiknya manusia adalah
yang paling besar memberikan manfaat bagi orang lain. (Al Hadits).
Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat
keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai
keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural.
Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah
cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu
mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep
masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna
yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat
mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan
terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga
masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang
tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan
ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya
masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi
mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya
adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai
kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai
pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition”
(Azyumardi Azra, 2007).
Lawrence Blum mengungkapkan bahwa
multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian
atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang
budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme
tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah
mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik
kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan
untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di
masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh
setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia
merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang
begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki
banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia
yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah
sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini
berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka
ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi
pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta
mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa
Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan
yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Pengumuman Ujian Nasional
SMA/MA/SMK/SMALB : 24 Mei 2012
SMP/MTs./SMPLB : 2 Juni 2012
SD/MI/SDLB : Tergantung Daerah
Pengumuman UN 2012
nantinya akan dikirimkan ke sekolah masing-masing di seluruh tanah air
sehari sebelum tanggal yang tercantum di atas. Biasanya, kepala sekolah
dapat mengambil pengumuman tersebut di Dinas Pendidikan Provinsi.
Sementara siswa, dapat melihat pengumuman UN 2012 ini dengan mendatangi
sekolah. Meski begitu, ada juga sekolah yang mengumumkan hasil UN ini di
kantor kepolisian, lewat surat, atau juga melalui situs sekolah.
Pengumuman UN 2012 SD, SMP & SMA
Sebagaimana kita ketahui, bahwa
kelulusan siswa pada pengumuman UN 2012 kini ditentukan oleh kombinasi
antara nilai raport dengan hasil lembar jawaban Soal UN 2012. Pengumuman UN 2012 dari nasional memang sesuai dengan jadwal di atas, namun sekolah diberikan keleluasaan untuk menentukan waktu pengumuman UN.
Sayangnya, pada ujian nasional
kali ini tidak ada lagi Ujian Ulangan seperti pada 2 tahun sebelumnya.
Kali ini hanya ada ujian susulan, yang dikhususkan bagi siswa yang tidak
dapat hadir pada ujian utama dikarenakan sakit atau alasan yang dapat
diterima. Ujian Susulan dilaksanakan di satu sekolah saja. Siswa yang
tidak hadir dalam ujian utama, berkumpul di satu sekolah untuk mengikuti
ujian susulan.
Nah, itulah tadi Pengumuman Hasil Ujian Nasional SMA/SMK. Semoga tahun ini semuanya lulus 100%.
Jumat, 11 Mei 2012
Biaya Pendaftaran
No. Perincian Jumlah
1 Formulir Pendaftaran Rp. 50.000,-
2 Uang Seragam Rp. 300.000,-
3 SPP (Perbulan) Rp. 150.000,-
4 OSIS (Pertahun) Rp. 120.000,-
5 Uang Bangunan -
Total Rp. 620.000,-
1 Formulir Pendaftaran Rp. 50.000,-
2 Uang Seragam Rp. 300.000,-
3 SPP (Perbulan) Rp. 150.000,-
4 OSIS (Pertahun) Rp. 120.000,-
5 Uang Bangunan -
Total Rp. 620.000,-
Info Pendaftaran
Pendaftaran dibuka setiap hari kerja, mulai pukul 08.30 s/d 15.00 WIB.
Di Sekretariat MA. Manba'ul Khair
Jl. HOS Cokroaminoto No.10, Kreo Kec. Larangan Kota Tangerang
Provinsi Banten. 15156.
Telp. (021) 7302532 / 80307225 / 94892191
Hotline. 085714742225 (Dede) 24 jam
Email: ma.manbaulkhair@gmail.com
Di Sekretariat MA. Manba'ul Khair
Jl. HOS Cokroaminoto No.10, Kreo Kec. Larangan Kota Tangerang
Provinsi Banten. 15156.
Telp. (021) 7302532 / 80307225 / 94892191
Hotline. 085714742225 (Dede) 24 jam
Email: ma.manbaulkhair@gmail.com
Kamis, 10 Mei 2012
Kompetensi Kepribadian Guru
Kata kompetensi secara harfiah dapat diartikan sebagai kecakapan atau kemampuan. Dalam bahasa Arab kompetensi disebut dengan kafaah, dan juga al-ahliyah, yang
berarti memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidangnya sehingga ia
mempunyai kewenangan atau otoritas untuk melakukan sesuatu dalam batas
ilmunya tersebut.
Kata
ini menjadi kunci dalam dunia pendidikan. Makna penting kompetensi
dalam dunia pendidikan didasarkan atas pertimbangan rasional, bahwa
proses pembelajaran merupakan proses yang rumit dan kompleks. Ada
beragam aspek yang saling berkaitan dan mempengaruhi berhasil atau
gagalnya kegiatan pembelajaran.
Kompetensi
merupakan peleburan dari pengetahuan (daya pikir), sikap (daya kalbu),
dan keterampilan (daya pisik) yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Dengan kata lain, kompetensi merupakan perpaduan dari penguasaan
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak dalam melaksanakan tugas atau
pekerjaan.
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Bab IV
Pasal 10 menyebutkan ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru,
yaitu Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi
Profesional, dan Kompetensi Sosial. Keempat kompetensi tersebut harus
dimiliki oleh guru, diminta ataupun tidak, mereka harus melakukannya
secara tulus. Keempat kompetensi tersebut tidak berdiri sendiri,
melainkan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, serta saling
mendasari satu sama lain. Dalam tulisan ini, penulis tidak membahas
keseluruhan dari kompetensi-kompetensi tersebut, penulis hanya akan
membahas satu kompetensi saja, yaitu kompetensi kepribadian, sesuai
dengan ruang lingkup penelitian yang telah penulis teliti.
Berangkat dari
keyakinan adanya perubahan status guru menjadi tenaga profesional, dan
apresiasi lingkungan yang tinggi, tentu saja kompetensi merupakan
langkah penting yang perlu ditingkatkan. Kompetensi intelektual
merupakan berbagai perangkat pengetahuan dalam diri individu yang
diperlukan untuk menunjang berbagai aspek unjuk kerja sebagai guru
profesional. Sedangkan kompetensi fisik dan individu, berkaitan erat
dengan perangkat perilaku yang berhubungan dengan kemampuan individu
dalam mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri untuk melakukan
transformasi diri, identitas diri, dan pemahaman diri.
Pengertian kepribadian
Zakiah daradjat
berpendapat bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah
kepribadiannya. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia
menjadi pendidik dan Pembina yang baik bagi peserta didiknya, ataukah
akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan peserta didik,
terutama bagi peserta didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan
mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Istilah
kepribadian dalam ilmu psikologi mempunyai pengertian sifat hakiki yang
tercermin pada sikap seseorang. Kata kepribadian diambil dari terjemahan
kata yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu personality. Menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Ngainun Naim bahwa kata personality mempunyai pengertian sebagai sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dari orang lain.
Kata kepribadian
dalam prakteknya ternyata mengandung pengertian yang kompleks. Hal ini
terlihat dari para ahli psikologi untuk merumuskan definisi tentang
kepribadian secara tepat, jelas, dan mudah dimengerti, antara satu
psikolog dengan psikolog lain memiliki definisi yang berbeda-beda.
Dalam hal ini
Zakiah Daradjat memberikan solusi, bahwa sebaiknya memandang kepribadian
itu dari segi integritasnya. Sebab kepribadian terpadu itu akan dapat
menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat, karena segala unsur
dalam pribadinya bekerja seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekerja
dengan tenang, setiap masalah dapat dihadapi secara obyektif, artinya
tidak dikaitkan dengan prasangka atau emosi yang tidak menyenangkan.
Beberapa
definisi tentang kepribadian yang dikutip oleh Ngainun Naim di antaranya
menurut Gordon W. Allport bahwa kepribadian merupakan organisasi
dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya
yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Sedangkan
menurut Witherington kepribadian adalah keseluruhan tingkah laku
seseorang yang diintegrasikan sebagaimana yang tampak pada orang lain.
Menurutnya kepribadian tersebut bukan hanya yang melekat pada diri
seseorang, tetapi lebih merupakan hasil dari suatu pertumbuhan yang lama
dalam suatu lingkungan kultural.
Menurut Zakiah
Daradjat, bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak (maknawi),
sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah
penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya
dalam tindakan, ucapan, cara bergaul, baik yang ringan maupun yang
berat.
Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah
kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian (1) mantap dan stabil
yang memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma hukum, norma
sosial, dan etika yang berlaku, dan bangga sebagai guru; (2) dewasa,
yang berarti mempunyai kemandirian untuk bertindak sebagai pendidik dan
memiliki etos kerja sebagai guru; (3) arif dan bijaksana, yaitu perilaku
yang menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak, menampilkan
tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan
masyarakat; (4) berwibawa, yaitu perilaku guru yang disegani sehingga
berpengaruh positif terhadap peserta didik; dan (5) memiliki akhlak
mulia dan memiliki perilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik,
bertindak sesuai norma religious, jujur, ikhlas, dan suka menolong.
Nilai kompetensi kepribadian dapat digunakan sebagai sumber kekuatan,
inspirasi, motivasi, dan inovasi bagi peserta didik.
Kepribadian guru
dalam proses pembelajaran dapat mempengaruhi minat belajar peserta
didik terhadap pelajaran yang diberikan oleh guru. Peserta didik akan
merasa senang mengikuti pembelajaran jika gurunya menyenangkan. Suasana
menyenangkan yang dirasakan oleh peserta didik akan memperlancar proses
pembelajaran, hal tersebut memberi andil yang sangat besar terhadap
tercapainya tujuan pembelajaran pada khususnya, dan keberhasilan
pendidikan pada umumnya. Oleh karena itu, menumbuhkan minat peserta
didik dalam pembelajaran adalah suatu keputusan yang sangat penting dan
tepat.
Minggu, 06 Mei 2012
Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural
Pendahuluan
Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan
tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus
dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap
keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari
cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan
ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih
dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat
yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan
ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru
dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah
sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan
kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk” (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural
adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun
secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam
model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat
bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan
yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah
mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya
masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti
sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini
sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa
Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa,
sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang
berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan
di daerah”.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang
multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep
multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa
Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional
maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2)
Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme
dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.
Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa
Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada
umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah
konsep asing. Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak
oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa
daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah
dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau
kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak
mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi
ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di
negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2
masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan,
yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya
yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai
minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di
Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan
minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir
tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya
perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam
dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan
dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui
berbagai kegiatan affirmative action yang membantu
mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat
mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di
berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha
(lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam
perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit
Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan
orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai
kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana
yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh
Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat
pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan
diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep
multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di
sekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan
berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan
menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu
(Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we are all multiculturalists now’ dia
menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di
Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian
proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun
1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi
yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi
tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah
dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk
dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam
kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme
diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang
relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini
harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah
yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan,
kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya,
domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep
lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).
Pemahaman Tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian
kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya
tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli
dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena
multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana
untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep
kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena
itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang
juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman
adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata
sosial.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam
berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan
manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan
bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam
masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan,
yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan
sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya
mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di
dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya
adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada
corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan
pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian
pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan
seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai
budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa
corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put).
Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen,
ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang
ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya
disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan
manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga,
atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan
sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang
berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia,
tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke
dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab
utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam
mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang
menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang
dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan
mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya
yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan
manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi
juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman
etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan
konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.
Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai
‘Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur
tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman
tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung
dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana
seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya
dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno
1987). Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita
kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika
administrasi dan birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang
lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak
ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan
sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai “Akbar
Tanjung dan Etika Politik” sebagaimana yang telah dikemukakanoleh
Alfian M (2002).
Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat
Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para
ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan
Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam
kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila
kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan
tersebut. Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup
mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang
menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari
32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat
semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak
multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah
diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya
untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam
konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa
diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan
Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting
berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai
cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya
terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep
serta metodologi yang sesuai dengan itu.
Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana
yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa
untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai
dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya
pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural.
Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya
dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan
mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik
gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu
menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga
kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat
respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan
dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian
seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai
kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui
dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan
etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada
angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan
metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif
inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau
gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga
diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang
di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme
yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.
Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian
multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan
oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan
ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu
pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai
bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat,
mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan
keahlian akademik masing-masing. Sehingga secara bersama-sama tetapi
melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya
untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan
secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.
Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi,
atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan
lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas
dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi,
seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat
dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya
yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep
dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai
multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta
proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan
itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di
lapangan.
Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme,
ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi
sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai
multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi
pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Hal yang sama juga
sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat
atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi
pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar,
dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial
yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita
reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan
konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga
menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural
Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak
berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.
Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan
dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir
bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat
dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model
multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara
bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model
maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang
berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada
terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap
berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan
organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia.
Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup
reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam
nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan
penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya
ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada
setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan
berbagai corak dinamikanya.
Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan
pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam
berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya
dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan
membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan
bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam
berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya.
Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan
berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh
para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang
ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan
dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan
pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat
dibatasi atau ditiadakan.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas
R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam
pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.
Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan
pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau
menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah
bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah
diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang
baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam
upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik
berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat
Suparlan 2002).
Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah
multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin
akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai
sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan
sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.
Sumber:
Kamis, 03 Mei 2012
Diklat Guru untuk Profesionalitas yang Lebih Baik
DDTK DI MTS NEGERI BENDA KOTA TANGERANG
Kota Tangerang, Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, Balai Diklat Keagamaan (BDK) Jakarta mengadakan program Diklat Di Tempat Kerja (DDTK) tentang lesson study pada KKM
MTs Negeri Benda Kota Tangerang, Banten. Kegiatan yang dibuka dan
ditutup secara langsung oleh Drs. H. Zaenal Arifin, MM selaku Kepala
Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang tersebut berlangsung selama
empat hari.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala MTs Negeri
Benda H. Upen Supendi, M.Pd menyampaikan bahwa saat ini telah banyak
perubahan dan perkembangan dalam paradigma pendidikan di Indonesia,
termasuk di Madrasah. Implikasinya guru dituntut untuk meningkatkan
kreativitas dan profesionalismenya. Untuk itu, Kepala Madrasah sangat
berterima kasih kepada Balai Diklat Keagamaan Jakarta yang memberikan
kesempatan kepada guru-guru untuk mengikuti kegiatan DDTK tersebut karena sangat berkontribusi positif terhadap profesionalisme tenaga kependidikan di lingkungan KKM MTs Negeri Benda.
DDTK tersebut diikuti
dengan antusias oleh seluruh peserta karena disajikan dengan metode yang
menarik dan variatif oleh dua orang Widyaiswara dari Balai Diklat
Keagamaan Jakarta yang profesional di bidangnya, yaitu Ibu Marina, M.Pd
dan Ibu Umi Rabiah, M.Pd.I. Dua hari pertama, DDTK
tersebut disajikan dalam bentuk teori tentang konsep dasar lesson
study, media pembelajaran dan model-model pembelajaran, kemudian dua
hari terakhir seluruh peserta langsung melakukan praktek di kelas yang
merupakan implementasi dari teori yang sudah disampaikan. Dalam praktek
tersebut seluruh peserta dikelompokan menjadi empat kelompok, setiap
kelompok terdiri dari satu orang guru model yang bertugas mengajar di
kelas dan yang lainnya menjadi observer yang bertugas mengobservasi
seluruh kegiatan pembelajaran tersebut, setelah pembelajaran selesai
tiap kelompok melakukan refleksi dan mendiskusikan hasil observasinya.
PKM Bidang kurikulum
MTs Negeri Benda Ade Zaenudin, MA menyampaikan bahwa dalam rangka
menindaklanjuti kegiatan ini, seluruh peserta menyepakati dibentuknya
empat kelompok rumpun pelajaran yang masing-masing dipimpin seorang
koordinator yaitu: kelompok PAI dikoordinatori oleh TB. Encep Sumantri, S.Ag, kelompok Bahasa dikoordinatori oleh Abdul Matin, S.Ag, kelompok MIPATIK dikoordinatori oleh Tri Iswanto, S.Pd dan kelompok IPS
Plus yang dikoordinatori oleh Yayu Yulistiana, S.Pd. Balai Diklat
Keagamaan Jakarta yang diwakili Ibu Niniek Sulistyana mengamanatkan agar
keempat kelompok tersebut mengagendakan program open lesson sebagai
tindak lanjut dari diklat ini, yaitu para anggota kelompok mengobservasi
pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru model yang juga merupakan
anggota kelompoknya sendiri yang waktunya disesuaikan dengan kelas dan
jam pelajaran guru model tersebut.
Sumber: http://banten.kemenag.go.id
Selasa, 01 Mei 2012
Benarkah Piramida & Borobudur Dibangun dengan Bantuan Alien?
Banyak
orang telah mengenal piramida. Piramida adalah bangunan modern pada
masa purba yang terdapat di Mesir. Bangunan ini disusun bertingkat,
makin ke atas makin kecil. Piramida terdiri atas ribuan bongkahan batu.
Tiap batu mempunyai berat sekitar dua ton. Diperkirakan berat sebuah
piramida mencapai jutaan ton. Bila dideretkan maka panjang batu pada
piramida Cheops, piramida terbesar di Mesir, melebihi panjang pantai
Amerika dari utara ke selatan.
Bagaimana membuat piramida, berapa lama waktu untuk menyelesaikannya, dan berapa banyak orang yang mengerjakannya? Sejak lama para pakar masih belum bisa memberikan jawaban memuaskan. Hanya sebagian misteri yang berhasil diungkapkan, antara lain oleh arkeolog Inggris Howard Carter terhadap makam Tutankhamen di dalam sebuah piramida. Carter dan tim ekspedisinya menemukan terowongan berikut tangga yang tersusun rapi dan sejumlah catatan tertulis. Di dalam terowongan itu terdapat makam raja dan keluarganya yang mayatnya sudah diawetkan (mumi). Perhiasan emas, prasasti yang berisi kutukan, dan gambar dinding. Perlu waktu puluhan tahun untuk melakukan ekskavasi di sini.
Eksperimen Banyak pakar menduga piramida dibangun dari bagian bawah terus ke atas. Tangga naik, untuk meletakkan batu-batu di atasnya, menggunakan punggung bukit. Setelah bagian tertinggi rampung, maka bukit tersebut dipangkas habis. Dengan demikian yang tersisa hanyalah piramida.
Yang masih sukar diperkirakan adalah bagaimana membawa batu seberat dua ton ke atas. Kalau dengan kerekan, berapa besar kerekannya? Kalau dengan batang pohon, bagaimana menggelindingkan batu yang demikian berat itu? Masalahnya, salah perhitungan sedikit saja, nyawa terancam melayang. lni karena bentuk piramida Mesir sangat landai, tidak berundak sebagaimana piramida Amerika Selatan.
Ditafsirkan, piramida dikerjakan selama berpuluh-puluh tahun. Bahan bangunan kemungkinan besar berasal dari sepanjang sungai Nil dan daerah-daerah di sekitar tempat piramida berdiri. Beberapa tahun lalu pakar-pakar Jepang, Prancis, dan negara-negara maju pemah melakukan eksperimen untuk membuat piramida tiruan. Mereka menggunakan alat-alat berat dan alat-alat modern, termasuk helikopter sebagai alat pengangkut batu.
Pada tahap pertama. mereka mengawalinya dari bagian bawah. Ternyata pembangunan piramida tidak rampung. Begitu pula ketika dimulai dari bagian atas. Mengapa teknologi masa kini tidak mampu menyaingi teknologi purba? Benarkah pekerja-pekerja Mesir dulu dibantu tenaga gaib para jin dan dewa sehingga berhasil mendirikan bangunan supermonumental itu?
Piramida Mesir tidak dibuat sembarangan. Ada kaidah-kaidah tertentu yang harus ditaati. Pada bagian atas piramida terdapat sebuah lubang. Lubang ini menghadap ke arah matahari terbit. Hal ini tentu dimaklumi karena bangsa Mesir purba menganggap dewa Ra (Matahari) sebagai dewa tertinggi. Uniknya, bila bentuk piramida direbahkan ke atas tanah, maka sudut-sudutnya tepat berada di garis lingkaran. Dengan adanya bentuk demikian disimpulkan bahwa pembangunan piramida direncanakan dengan teliti. Apalagi bayangan matahari pada piramida tadi menunjukkan musim-musim yang ada di tanah Mesir.
Menurut sejumlah ahli Egyptotogi (pengetahuan tentang sejarah dan kebudayaan Mesir), makna simbolis pada piramida begitu besar. Tulisan-tulisan hieroglif menyiratkan ada unsur magis pada bangunan itu.
Candi Borobudur
Candi
Borobudur Tahun 1930-an W.O.J. Nieuwenkamp pernah memberikan khayalan
ilmiah terhadap Candi Borobudur. Didukung penelitian geologi,
Nieuwenkamp mengatakan bahwa Candi Borobudur bukannya dimaksud sebagai
bangunan stupa melainkan sebagai bunga teratai yang mengapung di atas
danau. Danau yang sekarang sudah kering sama sekali, dulu meliputi
sebagian dari daerah dataran Kedu yang terhampar di sekitar bukit Borobudur.
Foto
udara daerah Kedu memang memberi kesan adanya danau yang amat luas di
sekeliling Candi Borobudur. Menurut kitab-kitab kuno, sebuah candi
didirikan di sekitar tempat bercengkeramanya para dewa. Puncak dan
lereng bukit, daerah kegiatan gunung berapi, dataran tinggi, tepian
sungai dan danau, dan pertemuan dua sungai dianggap menjadi lokasi yang
baik untuk pendirian sebuah candi.
Candi Borobudur didirikan dekat pertemuan Sungai Eto dan Progo di dataran Kedu. Tanpa bantuan peta sulit bagi kita sekarang untuk mengenali kedua sungai itu. Untuk menentukan lokasi candi mutlak diperlukan pengetahuan geografi dan topografi yang benar-benar handal. Sungguh mengagumkan nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan seperti itu. Bangunan Candi Borobudur dianggap benar-benar luar biasa. Bahan dasarnya adalah batuan yang mencapai ribuan meter kubik jumlahnya. Sebuah batu beratnya ratusan kilogram. Hebatnya, untuk merekatkan batu tidak digunakan semen. Antarbatu hanya saling dikaitkan, yakni batu atas-bawah, kiri-kanan, dan belakang-depan.
Yang mengagumkan, bila dilihat dari udara, maka bentuk Candi Borobudur dan arca-arcanya relatif simetris. Kehebatan lain, di dekat Candi Borobudur terdapat Candi Mendut dan Candi Pawon. Ternyata Borobudur, Mendut, dan Pawon jika ditarik garis khayal, berada dalam satu garis lurus. Maka kemudian orang mereka-reka bahwa pembangunan Candi Borobudur juga dibantu para jin, dewa, dan "orang pintar" lainnya.
Angkasa Luar
Tahun
1970-an muncul Erich von Daniken, seorang pengarang fiksi ilmiah
(science fiction), yang bukunya sangat populer. Beberapa karyanya
seperti Kereta Perang Para Dewa, Kembalinya Bintang-Bintang, Emas Para
Dewa, Mencari Dewa-Dewa Kuno, dan Mukjizat Para Dewa berhasil membius
jutaan pembacanya dengan khayalan yang sulit dipercaya namun dapat juga
dicerna akal sehat.
Di dataran tinggi Nazca (Peru), demikian awal kisah, terdapat sebuah lajur tanah rata yang panjangnya lebih dari 50 kilometer. Para arkeolog menafsirkannya sebagai "jalan raya bikinan bangsa Inca". Namun von Daniken menganggapnya sebagai "landasan bandar udara untuk melayani penerbangan antarbintang", apalagi dia berhasil mengaitkannya dengan sejumlah temuan arkeologi.
Dengan imajinasinya von Daniken mengatakan pasti ada planet lain yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia. Penghuni planet itu adalah makhluk-makhluk yang kecerdasan otak dan peradabannya melebihi manusia biasa. Berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu makhluk-makhluk ini berkunjung ke bumi mengendarai wahana antariksa yang dapat mengarung angkasa dengan kecepatan supertinggi. Ternyata khayalan von Daniken didukung oleh berbagai tinggalan arkeologi.
Di dataran tinggi Nazca (Peru), demikian awal kisah, terdapat sebuah lajur tanah rata yang panjangnya lebih dari 50 kilometer. Para arkeolog menafsirkannya sebagai "jalan raya bikinan bangsa Inca". Namun von Daniken menganggapnya sebagai "landasan bandar udara untuk melayani penerbangan antarbintang", apalagi dia berhasil mengaitkannya dengan sejumlah temuan arkeologi.
Dengan imajinasinya von Daniken mengatakan pasti ada planet lain yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia. Penghuni planet itu adalah makhluk-makhluk yang kecerdasan otak dan peradabannya melebihi manusia biasa. Berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu makhluk-makhluk ini berkunjung ke bumi mengendarai wahana antariksa yang dapat mengarung angkasa dengan kecepatan supertinggi. Ternyata khayalan von Daniken didukung oleh berbagai tinggalan arkeologi.
Pada sebuah peta dari Istana Topkapi di Turki, tergambar benua Amerika dan Afrika dengan di bawahnya daratan Antartika di kutub selatan. Penggambaran peta demikian hanya mungkin dilakukan melalui pemotretan dari jarak jauh di angkasa. Bila dicermati peta kuno itu sama benar dengan peta bikinan Angkatan Udara AS hasil proyeksi sama jarak dari titik tolak di Mesir. Di Val Camonica (Italia) dan di Tassili (Gurun Sahara) terdapat lukisan dinding yang menggambarkan orang berpakaian seperti astronot zaman sekarang, lengkap dengan baju tebal dan helm. Bahkan helmnya menutupi seluruh kepala dan dilengkapi antena. Kalau begitu benarkah dulu pemah terjadi penerbangan angkasa luar yang dilakukan makhluk dari planet lain ke bumi?
Dalam perkembangannya makhluk dari angkasa luar itu berubah wujud menjadi tokoh dewa, sering dipuja masyarakat purba. Adanya dewa tergambar jelas dari mitologi dan berbagai kitab keagamaan di pusat-pusat kebudayaan kuno, seperti di Maya, Inca, Mesopotamia, India, Mesir, Yunani, Romawi, dan Indonesia. Dalam mitologi dan kitab keagamaan digambarkan para dewa bersemayam jauh di atas sana dan sewaktu-waktu dapat berkunjung ke bumi, baik dengan terbang secara langsung maupun menggunakan wahana antariksa.
Pendidikan Berkarakter
Pendidikan Karakter adalah upaya dalam rangka membangun karakter
(character building) peserta didik untuk menjadi lebih baik. Sebab,
karakter dan kepribadian peserta didik sangat mudah untuk dibentuk.
Secara etimologis karakter dapat dimaknai sesuatu yang bersifat
pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun
perangai.
Sedangkan secara terminologis, karakter dapat dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil. Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.
Bakaitan dengan itu, dalam alam empiris dapat dilihat bahwa karakter anak bangsa ini semakin menunjukkan gejala yang sangat miris dan merisaukan kita semua. Kehidupan mereka yang kontradiktif, tidak hanya di luar lingkungan pendidikan, tetapi juga justru dilakukan oleh anak-anak didik dalam masa pendidikan. Sungguh miris melihat realitas dan kenyataan yang seperti ini.
Padahal menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Maraknya Anarkisme
Kepekaan hati nurani sebagian besar anak bangsa ini sangat terabaikan. Hal itu dapat dilihat perilaku negatif yang sangat jauh dari hati nurani. Maraknya tindakan anarkisme, tawuran serta perlakuan yang melawan hukum juga telah ditunjukkan anak bangsa ini secara kolektif. Lebih parah lagi, hal itu juga ditunjukkan oleh tokoh publik, tokoh politik, juga oleh penyelenggara pemerintahan.
Dapat dilihat dengan nyata bahwa banyaknya perbuatan yang semuanya berindikasi pada tindakan melawan hukum, dilakukan oleh orang-orang yang katanya terhormat dengan menduduki posisi penting di negeri ini. Semuanya sangat memiriskan untuk dideskripsikan. Tragisnya, hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi seluruh anak bangsa ini.
Perilaku negatif tersebut dipublikasi secara media massa elektornik maupun media cetak. Sehingga terlihatlah dengan jelas bahwa perilaku itu sangat jauh dari karakter bangsa Indonesia yang terkenal dengan etika yang Pacasilais. Dalam rincian implementasi pembelajaran di madrasah/sekolah, pendidikan karakter bukanlah sesuatu mata pelajaran ataupun materi khusus yang disajikan secara khusus yang berdiri sendiri (self sufficiency).
Pendidikan Karakter ini dilaksanakan merupakan wujud integratif-interkonektif yang mencakup aspek multidisiplin dan multidimensi, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antarberbagai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial, misalnya dalam pembejaran matematika, yang diajarkan adalah bagaimana menjumlah angka dengan baik dan tidak mengurangi penjumlahan dalam realitas jual-beli maupun aktivitas lain di luar mata pelajaran matematika.
Sedangkan secara terminologis, karakter dapat dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil. Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.
Bakaitan dengan itu, dalam alam empiris dapat dilihat bahwa karakter anak bangsa ini semakin menunjukkan gejala yang sangat miris dan merisaukan kita semua. Kehidupan mereka yang kontradiktif, tidak hanya di luar lingkungan pendidikan, tetapi juga justru dilakukan oleh anak-anak didik dalam masa pendidikan. Sungguh miris melihat realitas dan kenyataan yang seperti ini.
Padahal menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Maraknya Anarkisme
Kepekaan hati nurani sebagian besar anak bangsa ini sangat terabaikan. Hal itu dapat dilihat perilaku negatif yang sangat jauh dari hati nurani. Maraknya tindakan anarkisme, tawuran serta perlakuan yang melawan hukum juga telah ditunjukkan anak bangsa ini secara kolektif. Lebih parah lagi, hal itu juga ditunjukkan oleh tokoh publik, tokoh politik, juga oleh penyelenggara pemerintahan.
Dapat dilihat dengan nyata bahwa banyaknya perbuatan yang semuanya berindikasi pada tindakan melawan hukum, dilakukan oleh orang-orang yang katanya terhormat dengan menduduki posisi penting di negeri ini. Semuanya sangat memiriskan untuk dideskripsikan. Tragisnya, hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi seluruh anak bangsa ini.
Perilaku negatif tersebut dipublikasi secara media massa elektornik maupun media cetak. Sehingga terlihatlah dengan jelas bahwa perilaku itu sangat jauh dari karakter bangsa Indonesia yang terkenal dengan etika yang Pacasilais. Dalam rincian implementasi pembelajaran di madrasah/sekolah, pendidikan karakter bukanlah sesuatu mata pelajaran ataupun materi khusus yang disajikan secara khusus yang berdiri sendiri (self sufficiency).
Pendidikan Karakter ini dilaksanakan merupakan wujud integratif-interkonektif yang mencakup aspek multidisiplin dan multidimensi, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antarberbagai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial, misalnya dalam pembejaran matematika, yang diajarkan adalah bagaimana menjumlah angka dengan baik dan tidak mengurangi penjumlahan dalam realitas jual-beli maupun aktivitas lain di luar mata pelajaran matematika.
Implikasi Akhir
Jadi inilah sebenarnya yang diharapkan implikasi akhir dari Pendidikan Karakter. Demikian juga dengan mata pelajaran yang lainnya. Sehingga yang terpenting adalah bagaimana mengamalkan seluruh pengetahuan yang telah dimiliki. Sebab, pengetahuan yang dimiliki tentang kebaikan, hukum, norma, benar, salah, ataupun tentang hal lainnya harus diterapkan. Sesungguhnya, hal inilah yang menjadi inti dalam Pendidikan Karakter. Sangat diharapkan peserta didik untuk bisa mengamalkan seluruh kompetensi pikiran yang dimilikinya. Sehingga tidak akan menyinpang apa telah mereka pelajari dalam pendidikan.
Dengan begitu, melalui pendidikan karakter semua berkomitmen untuk menumbuh kembangkan peserta didik menjadi pribadi yang utuh untuk menginternalisasi nilai-nilai kebajikan dan terbiasa mewujudkan kebajikan itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Karakter merupakan proses pembelajaran yang dengan menitikberatkan pada implementasi pengetahuan.
Selama ini pendidikan yang dilaksanakan kepada peserta didik adalah sebatas bagaimana menciptakan anak-anak mempunyai pengetahuan yang banyak, tanpa harus menerapkan pengetahuannya tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa untuk bisa mengaplikasikan itu diperlukan pengetahuan dan hafalan atas konstruksi ilmu tersebut. Sehingga pengetahuan yang dimiliki tidak sebatas pada sifat normatif saja tetapi harus di implementasikan dalam kehidupan sehari-harinya.
Kalau kita melihat, pendidikan karakter adalah untuk menghilangkan orang yang mengalami split of personality, sehingga menjadi pribadi yang baik. Hal inilah yang akan menjadi pilar kebangkitan bangsa. Semua itu mulai dari dunia pendidikan. Dan untuk itu tidak cukup berharap kepada para guru yang hanya berdiri di depan kelas mulai pukul 08.00-14.00 WIB. Lebih dari itu, seluruh stakeholders pendidikan harus merasa terpanggil untuk itu. Juga tokoh publik, orang tua, masyaraakat, tokoh politik, maupun seluruh elemen lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)