Senin, 14 Mei 2012

Info Pembayaran Semester

Diberitahukan kepada seluruh siswa/i MA. Manbaul Khair, untuk pembayaran semester genap 2011/2012, ditunggu paling lambat tanggal 2 Juni 2012.

Terima Kasih.

Tertanda,
Panitia Semester Genap

Jadwal Semester Genap 2011/2012

Minggu, 13 Mei 2012

Kepribadian Guru

Adalah sangat penting seorang guru memiliki sikap yang dapat mempribadi sehingga dapat dibedakan ia dengan guru yang lain. Memang, kepribadian menurut Zakiah Darajat disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan atau ucapan ketika menghadapi suatu persoalan, atau melalui atasannya saja.

Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis. Sehingga dapat diketahui bahwa setiap tindakan dan tingkah laku seseorang merupakan cerminan dari kepribadian seseorang, selama hal tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran. Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan citra diri dan kepribadian seseorang. Begitu naik kepribadian seseorang maka akan naik pula wibawa orang tersebut.

Kepribadian akan turut menetukan apakah para guru dapat disebut sebagai pendidik yang baik atau sebaliknya, justru menjadi perusak anak didiknya. Sikap dan citra negative seorang guru dan berbagai penyebabnya seharusnya dihindari jauh-jauh agar tidak mencemarkan nama baik guru. Kini, nama baik guru sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terperosok jatuh. Para guru harus mencari jalan keluar atau solusi bagaimana cara meningkatnya kembali sehingga guru menjadi semakin wibawa, dan terasa sangat dibutuhkan anak didik dan masyarakat luas. Jangan sebaliknya.

Guru sebagai teladan bagi murid-muridnya harus memiliki sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam seluruh segi kehidupannya. Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus mengimplementasikan nilai-nilai tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran agama, misalnya jujur dalam perbuatan dan perkataan, tidak munafik. Sekali saja guru didapati berbohong, apalagi langsung kepada muridnya, niscaya hal tersebut akan menghancurkan nama baik dan kewibawaan sang guru, yang pada gilirannya akan berakibat fatal dalam melanjutkan tugas proses belajar mengajar.

Guru yang demikian niscaya akan selalu memberikan pengarahan kepada anak didiknya untuk berjiwa baik juga. Hampir sulit ditemukan munculnya guru yang memiliki keinginan buruk terhadap muridnya. Dalam menggerakkan murid, guru juga dianggap sebagai partner yang siap melayani, membimbing dan mengarahkan murid, bukan sebaliknya justru menjerumuskannya. Djamarah dalam bukunya “ Guru dan Anak didik Dalam Interaksi Edukatif” menggambarkan bahwa:  Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, makhluk serba biasa, atau dengan julukan yang lain seperti artis, kawan, warga Negara yang baik, pembangun manusia, pioneer, terpercaya, dan sebagainya”.

Lebih lanjut Djamarah mengisahkan bahwa guru memiliki atribut yang lengkap dengan kebaikan, ia adalah uswatun hasanah walau tidak sesempurna Rasul. Betapa hebat profesi guru, dan tidak dapat ditemukan dalam berbagai profesi lainnya. Karenanya berbagai bentuk pengabdian ini hendaknya dilanjutkan dengan penuh keikhlasan, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan sekedar untuk mencari uang.

Guru yang professional adalah guru yang siap untuk memberikan bimbingan nurani dan akhlak yang tinggi kepada muridnya. Karena pendidikan dana bimbingan yang diberikan bersumber dari ketulusan hati, maka guru benar-benar siap sebagai spiritual fatner bagi muridnya. Guru yang ideal sangat meresa gembira bersama dengan muridnya, ia selalu berinteraksi kepada muridnya, ia merasa happy dapat memberikan obat bagi muridnya yang sedang bersedih hati, murung, berkelahi, malas belajar. Guru professional akan selalu memikirkan bagaimana memacu perkembangan pribadi anak didiknya agar tidak mengalami kendala yang biasa mengganggu.

Kemuliaan hati seorang guru diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Guru secara nyata dapat berbagi dengan anak didiknya. Guru tidak akan merasa lelah dan tidak mungkin mengembangkan sifat iri hati, munafik, suka menggunjing, menyuap, malas, marah-marah dan berlaku kasar terhadap orang lain, apalagi terhadap anak didiknya.

Guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik dapat saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan diri murid dalam mencapai cita-citanya. Disinilah kemanfaatan guru bagi orang lain atau murid benar-benar dituntut, seperti hadits Nabi: ”Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas”, artinya adalah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling besar memberikan manfaat bagi orang lain. (Al Hadits).

Multikulturalisme di Indonesia

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.

Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.

Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). 

Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

Pengumuman Ujian Nasional

SMA/MA/SMK/SMALB : 24 Mei 2012 
SMP/MTs./SMPLB :  2 Juni 2012
SD/MI/SDLB : Tergantung Daerah

Pengumuman UN 2012 nantinya akan dikirimkan ke sekolah masing-masing di seluruh tanah air sehari sebelum tanggal yang tercantum di atas. Biasanya, kepala sekolah dapat mengambil pengumuman tersebut di Dinas Pendidikan Provinsi. Sementara siswa, dapat melihat pengumuman UN 2012 ini dengan mendatangi sekolah. Meski begitu, ada juga sekolah yang mengumumkan hasil UN ini di kantor kepolisian, lewat surat, atau juga melalui situs sekolah.

Pengumuman UN 2012 SD, SMP & SMA

Sebagaimana kita ketahui, bahwa kelulusan siswa pada pengumuman UN 2012 kini ditentukan oleh kombinasi antara nilai raport dengan hasil lembar jawaban Soal UN 2012. Pengumuman UN 2012 dari nasional memang sesuai dengan jadwal di atas, namun sekolah diberikan keleluasaan untuk menentukan waktu pengumuman UN.

Sayangnya, pada ujian nasional kali ini tidak ada lagi Ujian Ulangan seperti pada 2 tahun sebelumnya. Kali ini hanya ada ujian susulan, yang dikhususkan bagi siswa yang tidak dapat hadir pada ujian utama dikarenakan sakit atau alasan yang dapat diterima. Ujian Susulan dilaksanakan di satu sekolah saja. Siswa yang tidak hadir dalam ujian utama, berkumpul di satu sekolah untuk mengikuti ujian susulan. 

Nah, itulah tadi Pengumuman Hasil Ujian Nasional SMA/SMK. Semoga tahun ini semuanya lulus 100%.

Jumat, 11 Mei 2012

Biaya Pendaftaran

No.            Perincian                        Jumlah
1        Formulir Pendaftaran        Rp.   50.000,-
2        Uang Seragam                   Rp. 300.000,-
3        SPP (Perbulan)                  Rp. 150.000,-
4        OSIS (Pertahun)                Rp. 120.000,-
5        Uang Bangunan                        -
                    Total                       Rp. 620.000,-

Info Pendaftaran

Pendaftaran dibuka setiap hari kerja, mulai pukul 08.30 s/d 15.00 WIB.
Di Sekretariat MA. Manba'ul Khair
Jl. HOS Cokroaminoto No.10, Kreo Kec. Larangan Kota Tangerang
Provinsi Banten. 15156.

Telp. (021) 7302532 / 80307225 / 94892191
Hotline. 085714742225 (Dede) 24 jam

Email: ma.manbaulkhair@gmail.com

Kamis, 10 Mei 2012

Kompetensi Kepribadian Guru

Kata kompetensi secara harfiah dapat diartikan sebagai kecakapan atau kemampuan. Dalam bahasa Arab kompetensi disebut dengan kafaah, dan juga al-ahliyah, yang berarti memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidangnya sehingga ia mempunyai kewenangan atau otoritas untuk melakukan sesuatu dalam batas ilmunya tersebut.

Kata ini menjadi kunci dalam dunia pendidikan. Makna penting kompetensi dalam dunia pendidikan didasarkan atas pertimbangan rasional, bahwa proses pembelajaran merupakan proses yang rumit dan kompleks. Ada beragam aspek yang saling berkaitan dan mempengaruhi berhasil atau gagalnya kegiatan pembelajaran.
Kompetensi merupakan peleburan dari pengetahuan (daya pikir), sikap (daya kalbu), dan keterampilan (daya pisik) yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Dengan kata lain, kompetensi merupakan perpaduan dari penguasaan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Bab IV Pasal 10 menyebutkan ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yaitu Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional, dan Kompetensi Sosial. Keempat kompetensi tersebut harus dimiliki oleh guru, diminta ataupun tidak, mereka harus melakukannya secara tulus. Keempat kompetensi tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, serta saling mendasari satu sama lain. Dalam tulisan ini, penulis tidak membahas keseluruhan dari kompetensi-kompetensi tersebut, penulis hanya akan membahas satu kompetensi saja, yaitu kompetensi kepribadian, sesuai dengan ruang lingkup penelitian yang telah penulis teliti.
Berangkat dari keyakinan adanya perubahan status guru menjadi tenaga profesional, dan apresiasi lingkungan yang tinggi, tentu saja kompetensi merupakan langkah penting yang perlu ditingkatkan. Kompetensi intelektual merupakan berbagai perangkat pengetahuan dalam diri individu yang diperlukan untuk menunjang berbagai aspek unjuk kerja sebagai guru profesional. Sedangkan kompetensi fisik dan individu, berkaitan erat dengan perangkat perilaku yang berhubungan dengan kemampuan individu dalam mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri untuk melakukan transformasi diri, identitas diri, dan pemahaman diri.
Pengertian kepribadian
Zakiah daradjat berpendapat bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan Pembina yang baik bagi peserta didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan peserta didik, terutama bagi peserta didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Istilah kepribadian dalam ilmu psikologi mempunyai pengertian sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang. Kata kepribadian diambil dari terjemahan kata yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu personality. Menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Ngainun Naim bahwa kata personality mempunyai pengertian sebagai sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dari orang lain.
Kata kepribadian dalam prakteknya ternyata mengandung pengertian yang kompleks. Hal ini terlihat dari para ahli psikologi untuk merumuskan definisi tentang kepribadian secara tepat, jelas, dan mudah dimengerti, antara satu psikolog dengan psikolog lain memiliki definisi yang berbeda-beda.
Dalam hal ini Zakiah Daradjat memberikan solusi, bahwa sebaiknya memandang kepribadian itu dari segi integritasnya. Sebab kepribadian terpadu itu akan dapat menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat, karena segala unsur dalam pribadinya bekerja seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekerja dengan tenang, setiap masalah dapat dihadapi secara obyektif, artinya tidak dikaitkan dengan prasangka atau emosi yang tidak menyenangkan.
Beberapa definisi tentang kepribadian yang dikutip oleh Ngainun Naim di antaranya menurut Gordon W. Allport bahwa kepribadian merupakan organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Sedangkan menurut Witherington kepribadian adalah keseluruhan tingkah laku seseorang yang diintegrasikan sebagaimana yang tampak pada orang lain. Menurutnya kepribadian tersebut bukan hanya yang melekat pada diri seseorang, tetapi lebih merupakan hasil dari suatu pertumbuhan yang lama dalam suatu lingkungan kultural.
Menurut Zakiah Daradjat, bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak (maknawi), sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya dalam tindakan, ucapan, cara bergaul, baik yang ringan maupun yang berat.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian (1) mantap dan stabil yang memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma hukum, norma sosial, dan etika yang berlaku, dan bangga sebagai guru; (2) dewasa, yang berarti mempunyai kemandirian untuk bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru; (3) arif dan bijaksana, yaitu perilaku yang menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak, menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat; (4) berwibawa, yaitu perilaku guru yang disegani sehingga berpengaruh positif terhadap peserta didik; dan (5) memiliki akhlak mulia dan memiliki perilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik, bertindak sesuai norma religious, jujur, ikhlas, dan suka menolong. Nilai kompetensi kepribadian dapat digunakan sebagai sumber kekuatan, inspirasi, motivasi, dan inovasi bagi peserta didik.
Kepribadian guru dalam proses pembelajaran dapat mempengaruhi minat belajar peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan oleh guru. Peserta didik akan merasa senang mengikuti pembelajaran jika gurunya menyenangkan. Suasana menyenangkan yang dirasakan oleh peserta didik akan memperlancar proses pembelajaran, hal tersebut memberi andil yang sangat besar terhadap tercapainya tujuan pembelajaran pada khususnya, dan keberhasilan pendidikan pada umumnya. Oleh karena itu, menumbuhkan minat peserta didik dalam pembelajaran adalah suatu keputusan yang sangat penting dan tepat.

Minggu, 06 Mei 2012

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Pendahuluan
Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.  Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.  Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk” (plural society).  Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000).  Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik.  Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997).  Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing.  Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini.  Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.  Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen.  Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri.  Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an.  Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu  berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997).  Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara  menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an.  Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992).  Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we are all multiculturalists now’ dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.  Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.   Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.  Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.  Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).

Pemahaman Tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan.  Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya.  Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.  Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.  Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan  Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi.  Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen  yang dikaji.  Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat.  Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup.  Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai.  Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya.  Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan  pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai ‘Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya.  Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987).  Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan sebagainya.   Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai “Akbar Tanjung dan Etika Politik” sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002).

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks.  Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu?  Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu?   Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut.  Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural?   Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural.  Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi.   Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu?  Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural.  Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih.  Begitu juga kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini.  Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian.  Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya.  Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing.  Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya.  Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya.  Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme.  Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau partai politik.  Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif.  Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali.  Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia.  Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah  mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia.  Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan.  Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen.  Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya.  Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya.  Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.  Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya).  Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002).

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Sumber: 

 

Kamis, 03 Mei 2012

Diklat Guru untuk Profesionalitas yang Lebih Baik

DDTK DI MTS NEGERI BENDA KOTA TANGERANG

Foto
Kota Tangerang, Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, Balai Diklat Keagamaan (BDK) Jakarta mengadakan program Diklat Di Tempat Kerja (DDTK) tentang lesson study pada KKM MTs Negeri Benda Kota Tangerang, Banten. Kegiatan yang dibuka dan ditutup secara langsung oleh Drs. H. Zaenal Arifin, MM selaku Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang tersebut berlangsung selama empat hari.

Dalam kesempatan tersebut, Kepala MTs Negeri Benda H. Upen Supendi, M.Pd menyampaikan bahwa saat ini telah banyak perubahan dan perkembangan dalam paradigma pendidikan di Indonesia, termasuk di Madrasah. Implikasinya guru dituntut untuk meningkatkan kreativitas dan profesionalismenya. Untuk itu, Kepala Madrasah sangat berterima kasih kepada Balai Diklat Keagamaan Jakarta yang memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk mengikuti kegiatan DDTK tersebut karena sangat berkontribusi positif terhadap profesionalisme tenaga kependidikan di lingkungan KKM MTs Negeri Benda.

DDTK tersebut diikuti dengan antusias oleh seluruh peserta karena disajikan dengan metode yang menarik dan variatif oleh dua orang Widyaiswara dari Balai Diklat Keagamaan Jakarta yang profesional di bidangnya, yaitu Ibu Marina, M.Pd dan Ibu Umi Rabiah, M.Pd.I. Dua hari pertama, DDTK tersebut disajikan dalam bentuk teori tentang konsep dasar lesson study, media pembelajaran dan model-model pembelajaran, kemudian dua hari terakhir seluruh peserta langsung melakukan praktek di kelas yang merupakan implementasi dari teori yang sudah disampaikan. Dalam praktek tersebut seluruh peserta dikelompokan menjadi empat kelompok, setiap kelompok terdiri dari satu orang guru model yang bertugas mengajar di kelas dan yang lainnya menjadi observer yang bertugas mengobservasi seluruh kegiatan pembelajaran tersebut, setelah pembelajaran selesai tiap kelompok melakukan refleksi dan mendiskusikan hasil observasinya.

PKM Bidang kurikulum MTs Negeri Benda Ade Zaenudin, MA menyampaikan bahwa dalam rangka menindaklanjuti kegiatan ini, seluruh peserta menyepakati dibentuknya empat kelompok rumpun pelajaran yang masing-masing dipimpin seorang koordinator yaitu: kelompok PAI dikoordinatori oleh TB. Encep Sumantri, S.Ag, kelompok Bahasa dikoordinatori oleh Abdul Matin, S.Ag, kelompok MIPATIK dikoordinatori oleh Tri Iswanto, S.Pd dan kelompok IPS Plus yang dikoordinatori oleh Yayu Yulistiana, S.Pd. Balai Diklat Keagamaan Jakarta yang diwakili Ibu Niniek Sulistyana mengamanatkan agar keempat kelompok tersebut mengagendakan program open lesson sebagai tindak lanjut dari diklat ini, yaitu para anggota kelompok mengobservasi pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru model yang juga merupakan anggota kelompoknya sendiri yang waktunya disesuaikan dengan kelas dan jam pelajaran guru model tersebut.

Selasa, 01 Mei 2012

Benarkah Piramida & Borobudur Dibangun dengan Bantuan Alien?



Banyak orang telah mengenal piramida. Piramida adalah bangunan modern pada masa purba yang terdapat di Mesir. Bangunan ini disusun bertingkat, makin ke atas makin kecil. Piramida terdiri atas ribuan bongkahan batu. Tiap batu mempunyai berat sekitar dua ton. Diperkirakan berat sebuah piramida mencapai jutaan ton. Bila dideretkan maka panjang batu pada piramida Cheops, piramida terbesar di Mesir, melebihi panjang pantai Amerika dari utara ke selatan.

Bagaimana membuat piramida, berapa lama waktu untuk menyelesaikannya, dan berapa banyak orang yang mengerjakannya? Sejak lama para pakar masih belum bisa memberikan jawaban memuaskan. Hanya sebagian misteri yang berhasil diungkapkan, antara lain oleh arkeolog Inggris Howard Carter terhadap makam Tutankhamen di dalam sebuah piramida. Carter dan tim ekspedisinya menemukan terowongan berikut tangga yang tersusun rapi dan sejumlah catatan tertulis. Di dalam terowongan itu terdapat makam raja dan keluarganya yang mayatnya sudah diawetkan (mumi). Perhiasan emas, prasasti yang berisi kutukan, dan gambar dinding. Perlu waktu puluhan tahun untuk melakukan ekskavasi di sini.

Eksperimen Banyak pakar menduga piramida dibangun dari bagian bawah terus ke atas. Tangga naik, untuk meletakkan batu-batu di atasnya, menggunakan punggung bukit. Setelah bagian tertinggi rampung, maka bukit tersebut dipangkas habis. Dengan demikian yang tersisa hanyalah piramida.

Yang masih sukar diperkirakan adalah bagaimana membawa batu seberat dua ton ke atas. Kalau dengan kerekan, berapa besar kerekannya? Kalau dengan batang pohon, bagaimana menggelindingkan batu yang demikian berat itu? Masalahnya, salah perhitungan sedikit saja, nyawa terancam melayang. lni karena bentuk piramida Mesir sangat landai, tidak berundak sebagaimana piramida Amerika Selatan.

Ditafsirkan, piramida dikerjakan selama berpuluh-puluh tahun. Bahan bangunan kemungkinan besar berasal dari sepanjang sungai Nil dan daerah-daerah di sekitar tempat piramida berdiri. Beberapa tahun lalu pakar-pakar Jepang, Prancis, dan negara-negara maju pemah melakukan eksperimen untuk membuat piramida tiruan. Mereka menggunakan alat-alat berat dan alat-alat modern, termasuk helikopter sebagai alat pengangkut batu.

Pada tahap pertama. mereka mengawalinya dari bagian bawah. Ternyata pembangunan piramida tidak rampung. Begitu pula ketika dimulai dari bagian atas. Mengapa teknologi masa kini tidak mampu menyaingi teknologi purba? Benarkah pekerja-pekerja Mesir dulu dibantu tenaga gaib para jin dan dewa sehingga berhasil mendirikan bangunan supermonumental itu?

Piramida Mesir tidak dibuat sembarangan. Ada kaidah-kaidah tertentu yang harus ditaati. Pada bagian atas piramida terdapat sebuah lubang. Lubang ini menghadap ke arah matahari terbit. Hal ini tentu dimaklumi karena bangsa Mesir purba menganggap dewa Ra (Matahari) sebagai dewa tertinggi. Uniknya, bila bentuk piramida direbahkan ke atas tanah, maka sudut-sudutnya tepat berada di garis lingkaran. Dengan adanya bentuk demikian disimpulkan bahwa pembangunan piramida direncanakan dengan teliti. Apalagi bayangan matahari pada piramida tadi menunjukkan musim-musim yang ada di tanah Mesir.

Menurut sejumlah ahli Egyptotogi (pengetahuan tentang sejarah dan kebudayaan Mesir), makna simbolis pada piramida begitu besar. Tulisan-tulisan hieroglif menyiratkan ada unsur magis pada bangunan itu.

Candi Borobudur
Candi Borobudur Tahun 1930-an W.O.J. Nieuwenkamp pernah memberikan khayalan ilmiah terhadap Candi Borobudur. Didukung penelitian geologi, Nieuwenkamp mengatakan bahwa Candi Borobudur bukannya dimaksud sebagai bangunan stupa melainkan sebagai bunga teratai yang mengapung di atas danau. Danau yang sekarang sudah kering sama sekali, dulu meliputi sebagian dari daerah dataran Kedu yang terhampar di sekitar bukit Borobudur.
Foto udara daerah Kedu memang memberi kesan adanya danau yang amat luas di sekeliling Candi Borobudur. Menurut kitab-kitab kuno, sebuah candi didirikan di sekitar tempat bercengkeramanya para dewa. Puncak dan lereng bukit, daerah kegiatan gunung berapi, dataran tinggi, tepian sungai dan danau, dan pertemuan dua sungai dianggap menjadi lokasi yang baik untuk pendirian sebuah candi.

Candi Borobudur didirikan dekat pertemuan Sungai Eto dan Progo di dataran Kedu. Tanpa bantuan peta sulit bagi kita sekarang untuk mengenali kedua sungai itu. Untuk menentukan lokasi candi mutlak diperlukan pengetahuan geografi dan topografi yang benar-benar handal. Sungguh mengagumkan nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan seperti itu. Bangunan Candi Borobudur dianggap benar-benar luar biasa. Bahan dasarnya adalah batuan yang mencapai ribuan meter kubik jumlahnya. Sebuah batu beratnya ratusan kilogram. Hebatnya, untuk merekatkan batu tidak digunakan semen. Antarbatu hanya saling dikaitkan, yakni batu atas-bawah, kiri-kanan, dan belakang-depan.

Yang mengagumkan, bila dilihat dari udara, maka bentuk Candi Borobudur dan arca-arcanya relatif simetris. Kehebatan lain, di dekat Candi Borobudur terdapat Candi Mendut dan Candi Pawon. Ternyata Borobudur, Mendut, dan Pawon jika ditarik garis khayal, berada dalam satu garis lurus. Maka kemudian orang mereka-reka bahwa pembangunan Candi Borobudur juga dibantu para jin, dewa, dan "orang pintar" lainnya.

Angkasa Luar
Tahun 1970-an muncul Erich von Daniken, seorang pengarang fiksi ilmiah (science fiction), yang bukunya sangat populer. Beberapa karyanya seperti Kereta Perang Para Dewa, Kembalinya Bintang-Bintang, Emas Para Dewa, Mencari Dewa-Dewa Kuno, dan Mukjizat Para Dewa berhasil membius jutaan pembacanya dengan khayalan yang sulit dipercaya namun dapat juga dicerna akal sehat.

Di dataran tinggi Nazca (Peru), demikian awal kisah, terdapat sebuah lajur tanah rata yang panjangnya lebih dari 50 kilometer. Para arkeolog menafsirkannya sebagai "jalan raya bikinan bangsa Inca". Namun von Daniken menganggapnya sebagai "landasan bandar udara untuk melayani penerbangan antarbintang", apalagi dia berhasil mengaitkannya dengan sejumlah temuan arkeologi.

Dengan imajinasinya von Daniken mengatakan pasti ada planet lain yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia. Penghuni planet itu adalah makhluk-makhluk yang kecerdasan otak dan peradabannya melebihi manusia biasa. Berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu makhluk-makhluk ini berkunjung ke bumi mengendarai wahana antariksa yang dapat mengarung angkasa dengan kecepatan supertinggi. Ternyata khayalan von Daniken didukung oleh berbagai tinggalan arkeologi.

Pada sebuah peta dari Istana Topkapi di Turki, tergambar benua Amerika dan Afrika dengan di bawahnya daratan Antartika di kutub selatan. Penggambaran peta demikian hanya mungkin dilakukan melalui pemotretan dari jarak jauh di angkasa. Bila dicermati peta kuno itu sama benar dengan peta bikinan Angkatan Udara AS hasil proyeksi sama jarak dari titik tolak di Mesir. Di Val Camonica (Italia) dan di Tassili (Gurun Sahara) terdapat lukisan dinding yang menggambarkan orang berpakaian seperti astronot zaman sekarang, lengkap dengan baju tebal dan helm. Bahkan helmnya menutupi seluruh kepala dan dilengkapi antena. Kalau begitu benarkah dulu pemah terjadi penerbangan angkasa luar yang dilakukan makhluk dari planet lain ke bumi?

Dalam perkembangannya makhluk dari angkasa luar itu berubah wujud menjadi tokoh dewa, sering dipuja masyarakat purba. Adanya dewa tergambar jelas dari mitologi dan berbagai kitab keagamaan di pusat-pusat kebudayaan kuno, seperti di Maya, Inca, Mesopotamia, India, Mesir, Yunani, Romawi, dan Indonesia. Dalam mitologi dan kitab keagamaan digambarkan para dewa bersemayam jauh di atas sana dan sewaktu-waktu dapat berkunjung ke bumi, baik dengan terbang secara langsung maupun menggunakan wahana antariksa.
Sampai kini kita belum dapat memberikan jawaban yang pasti apakah pembangunan piramida dan Candi Borobudur memang benar-benar dibantu makhluk dari angkasa luar ataukah keterampilan bangsa sekarang masih minim. Teori siapakah yang harus kita ikuti, teori von Daniken yang imajinatif dan bobot ilmiahnya kurang meyakinkan ataukah teori para arkeolog yang saintifik? Sayang teori yang saintifik itu masih misteri seperti halnya misteri yang masih menyelimuti piramida dan Candi Borobudur.

Pendidikan Berkarakter

Pendidikan Karakter adalah upaya dalam rangka membangun karakter (character building) peserta didik untuk menjadi lebih baik. Sebab, karakter dan kepribadian peserta didik sangat mudah untuk dibentuk. Secara etimologis karakter dapat dimaknai sesuatu yang bersifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun perangai.

Sedangkan secara terminologis, karakter dapat dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil. Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.

Bakaitan dengan itu, dalam alam empiris dapat dilihat bahwa karakter anak bangsa ini semakin menunjukkan gejala yang sangat miris dan merisaukan kita semua. Kehidupan mereka yang kontradiktif, tidak hanya di luar lingkungan pendidikan, tetapi  juga justru dilakukan oleh anak-anak didik dalam masa pendidikan. Sungguh miris melihat realitas dan kenyataan yang seperti ini.

Padahal menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Maraknya Anarkisme
Kepekaan hati nurani sebagian besar anak bangsa ini sangat terabaikan. Hal itu dapat dilihat perilaku negatif yang sangat jauh dari hati nurani. Maraknya tindakan anarkisme, tawuran serta perlakuan yang melawan hukum juga telah ditunjukkan anak bangsa ini secara kolektif. Lebih parah lagi, hal itu juga ditunjukkan oleh tokoh publik, tokoh politik, juga oleh penyelenggara pemerintahan.

Dapat dilihat dengan nyata bahwa banyaknya perbuatan yang semuanya berindikasi pada tindakan melawan hukum, dilakukan oleh orang-orang yang katanya terhormat dengan menduduki posisi penting di negeri ini. Semuanya sangat memiriskan untuk dideskripsikan. Tragisnya, hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi seluruh anak bangsa ini.

Perilaku negatif tersebut dipublikasi secara media massa elektornik maupun media cetak. Sehingga terlihatlah dengan jelas bahwa perilaku itu sangat jauh dari karakter bangsa Indonesia yang terkenal dengan etika yang Pacasilais. Dalam rincian implementasi pembelajaran di madrasah/sekolah, pendidikan karakter bukanlah sesuatu mata pelajaran ataupun materi khusus yang disajikan secara khusus yang berdiri sendiri (self sufficiency).

Pendidikan Karakter ini dilaksanakan merupakan wujud integratif-interkonektif yang mencakup aspek multidisiplin dan multidimensi, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antarberbagai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial, misalnya dalam pembejaran matematika, yang diajarkan adalah bagaimana menjumlah angka dengan baik dan tidak mengurangi penjumlahan dalam realitas jual-beli maupun aktivitas lain di luar mata pelajaran matematika.


Implikasi Akhir
Jadi inilah sebenarnya yang diharapkan implikasi akhir dari Pendidikan Karakter. Demikian juga dengan mata pelajaran yang lainnya. Sehingga yang terpenting adalah bagaimana mengamalkan seluruh pengetahuan yang telah dimiliki. Sebab, pengetahuan yang dimiliki tentang kebaikan, hukum, norma, benar, salah, ataupun tentang hal lainnya harus diterapkan. Sesungguhnya, hal inilah yang menjadi inti dalam Pendidikan Karakter. Sangat diharapkan peserta didik untuk bisa mengamalkan seluruh kompetensi pikiran yang dimilikinya. Sehingga tidak akan menyinpang  apa telah mereka pelajari dalam pendidikan.

Dengan begitu, melalui pendidikan karakter semua berkomitmen untuk menumbuh kembangkan peserta didik menjadi pribadi yang utuh untuk menginternalisasi nilai-nilai kebajikan dan terbiasa mewujudkan kebajikan itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Karakter merupakan proses pembelajaran yang dengan menitikberatkan pada implementasi pengetahuan.

Selama ini pendidikan yang dilaksanakan kepada peserta didik adalah sebatas bagaimana menciptakan anak-anak mempunyai pengetahuan yang banyak, tanpa harus menerapkan pengetahuannya tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa untuk bisa mengaplikasikan itu diperlukan pengetahuan dan hafalan atas konstruksi ilmu tersebut. Sehingga pengetahuan yang dimiliki tidak sebatas pada sifat normatif saja tetapi harus di implementasikan dalam kehidupan sehari-harinya.

Kalau kita melihat, pendidikan karakter adalah untuk menghilangkan orang yang mengalami split of personality, sehingga menjadi pribadi yang baik. Hal inilah yang akan menjadi pilar kebangkitan bangsa. Semua itu mulai dari dunia pendidikan. Dan untuk itu tidak cukup berharap kepada para guru yang hanya berdiri di depan kelas mulai pukul 08.00-14.00 WIB. Lebih dari itu, seluruh stakeholders pendidikan harus merasa terpanggil untuk itu. Juga tokoh publik, orang tua, masyaraakat, tokoh politik, maupun seluruh elemen lainnya.